Senin, 18 Oktober 2010

trying, trying and trying to be a better men

Lagi berusaha untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. hhh, semoga kali ini usahaku bisa membuahkan hasil seperti yang kuharapkan.
Meski kadang aku lelah, tapi aku tetap nggak putus asa.
Sudahlah, Ti bingung karena udah lama nggak nulis di blog. APa lagi yang mau di share, walau sebetulnya banyak sih, tapi moodnya lagi nggak ngedukung ney...

Minggu, 11 Juli 2010

my worst days

Minggu lalu menjadi minggu terberat untukku. Entah ada masalah apa, tiba-tiba my roommates memutuskan untuk pindah kos. Jadilah aku sendiri sebagai orang yang ditinggalkan. Akhirnya kuputuskan untuk pulang aja, jadi anak rumah nggak kos lagi. Berat memang harus pulang pergi Bekasi-Tangerang setiap hari, tapi sepertinya lebih berat lagi ditinggalkan tanpa tahu alasan jelas yang sebenarnya. Sudahlah, tak perlu lagi kupertanyakan bila kenyataan itu nantinya hanya akan semakin menyakiti hatiku. Biar saja semua jadi misteri bagiku, cukup kutahu alasan yang mereka katakan semoga itulah alasan yang sebenarnya walau sebenarnya aku sendiri ragu.
Aku udah pernah cerita kan bagaimana rasa yang kurasakan bersama mereka di curhatku sebelumnya. Aku hanya nggak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Biar saja semua apa adanya, toh selama ini aku selalu berusaha untuk tidak mengganggu dan menyakiti siapa pun. Whatever they think about me, that's their rights.
Namun dari semua yang kurasakan berat adalah saat aku menerima undangan dari seseorang yang kutahu pernah mengharapkanku dan sejujurnya aku pun pernah berharap padanya. Namun itulah takdir, kadang apa yang kita harapkan tak sejalan dengan apa yang tertulis dalam Lauhul Mahfuz. Yah inilah konsekuensi yang harus kuterima dari keputusanku hampir 3 tahun yang lalu. Bukan tanpa alasan aku menolaknya, bahkan menyuruhnya menjauh dariku. Semua itu karena sahabatku. Ia yang telah lebih dulu berkomitmen dengannya. Walau pada akhirnya mereka telah mengakhiri komitmen itu dan sahabatku telah mengakui bahwa ia tak benar-benar mencintainya, namun aku melihat ada bagian dari dirinya yang terasa sakit. Apalagi ketika ia tahu orang yang berkomitmen dengannya lebih menyukai dan perhatian pada orang lain. Aku tak ingin menambah rasa sakitnya, meski aku tahu keputusanku itu ternyata juga menyakitkan hatiku dan juga dirinya.
Fiuuhh... akhirnya tiba juga hari itu, dimana aku harus melihatnya bersanding dengan wanita pilihannya. ADa sedikit rasa tak rela, bukan karena aku tak bisa memilikinya namun karena waktu lebih berpihak padanya. Mengapa bukan aku yang ada di posisinya lebih dulu sehingga tak perlu mengalami rasa ini? Sudahlah, kembali lagi semua soal takdir. Aku ikhlas dan mendoakan semoga mereka berbahagia dalam membangun keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah.
Satu fakta kecil yang entah mengapa membuatku merasa senang dan sedikit tersanjung. Ia masih mengenaliku, padahal sudah 10 tahun kami tak pernah saling ketemu. Biasanya kami hanya berhubungan lewat telepon dan email. Sejujurnya kau sendiri sudah lupa seperti apa wajahnya. Bahkan ia masih saja mengingat banyak hal tentangku, sedangkan aku hanya tahu sedikit tentangnya. Syukurlah aku bisa melaluinya dengan baik, bahkan kami bisa bercanda dan sedikit ber-intermezzo mengingat masa SMA ketika ia mengenalkanku pada istrinya. Semoga rasa yang berkecamuk dalam hatiku tak tertangkap olehnya...
Kini setelah kutahu, aku berharap bisa merenda harapan baru setelah kutinggalkan masa lalu di belakangku. Ya Rob bantu aku menapaki langkah baru hidupku. Bismillah...

Selasa, 23 Maret 2010

masih mendung

Hai fren..., semoga nggak bosan dengan cerita Ti yang seringkali memuat hal-hal yang sedih. Entahlah, sepertinya mendung masih belum mau hilang dari pandangan Ti. Kali ini masalah keluarga. Ibu dapat cobaan lagi. Kayaknya sakit melulu. Kemaren ada masalah di telinganya, sekarang udah sembuh, alhamdulillah, tapi ada keluhan lagi benjolan di atas payudaranya. Sebelumnya sempat khawatir juga kalau itu tumor atau kanker payudara, tapi syukurlah setelah melalui pemeriksaan ternyata cuma pembengkakan kelenjar aja. Meski demikian sebaiknya memang diangkat. Akhirnya sekarang ibu masih di Pekalongan, untuk persiapan operasi. Ia memilih untuk dioperasi di Pekalongan cause dari segi biaya lebih murah, truz kualitas pelayanan RSUD di sana lebih bagus dibanding RSUD Bekasi. Apalagi mbak Atik and Bule' Kus juga kerja disana, jadi seenggaknya dalam hal pelayanan bisa dapat sedikit perhatian lebih. Ya Allah, semoga aja ibuku bisa tabah menjalani segala cobaan ini, dan semoga segalanya akan baik-baik saja pada akhirnya.
Ti sedih banget sebetulnya. Nggak bisa nemenin ibu, dan nggak bisa memberikan fasilitas yang lebih baik buat ibu. Seandainya pekerjaan Ti lebih baik dari saat ini, dan gaji Ti lebih dari cukup untuk kebutuhan standar hidup layak, tentu Ti bisa berbuat lebih banyak lagi untuk keluarga Ti.
Tapi yah sudahlah, mungkin saat ini memang hanya segini rezeki Ti. Toh sampai sekarang Ti juga tetap berusaha untuk memperbaiki kehidupan Ti dan keluarga, juga berusaha untuk meraih mimpi-mimpi Ti yang belum teraih. semoga Allah membukakan jalan bagi Ti, amin...

Sabtu, 20 Februari 2010

temans

Kenapa ya..., Ti ngerasa ketidaknyamanan dan ketiadaan ikatan with my roommates. Kita tinggal bareng, tapi jarang banget ada komunikasi yang mempererat kita sebagai “keluarga”. Seakan kosan cuma jadi tempat untuk tinggal, bukan rumah dimana ada interaksi yang intens diantara penghuninya.
Ti jadi ingat ma Fany, teman 1 kos Ti waktu kuliah. Kita begitu dekat, selalu berbagi, saling curhat, ketawa bareng, sampe nangis bareng. Bukan berarti nggak pernah ada masalah antara kita, justru kadang kala kita juga terlibat dalam konflik. Tapi konflik itu justru yang pada akhirnya semakin membuat kita lebih dekat. Dia pernah bilang bahwa dia adalah pribadi yang sulit untuk dimengerti, tapi pada akhirnya Ti bisa mengerti dia. Saat dia sedih, saat dia diam, saat dia ada masalah, Ti bisa memahami kebiasaan-kebiasaannya hingga Ti tau harus berbuat apa untuk mengatasinya.
Pernah suatu kali, kita dilanda masalah. Waktu itu Ti terlalu sibuk dengan berbagai tugas kuliah, dan praktikum. Alhasil, Ti lebih sering gabung dengan teman-teman kampus Ti dibanding dia, bahkan seringkali Ti nggak pulang ke kos karena deadline yang membuat Ti harus menginap di rumah atau kost teman Ti. Ketika segala konflik telah mencapai klimaks, suatu malam dia menawarkan suatu gagasan gila. Dia menyarankan kami untuk tetap bersama, berbagi kamar, berbagi fasilitas, tapi hanya sebatas itu, tidak lagi berbagi emosi, berbagi pemikiran dan perasaan. Hanya tinggal bersama, bukan hidup bersama, intinya. Tentu aja Ti langsung menolak gagasan itu, apa bedanya tinggal di kuburan dengan di kost kalau seperti itu. Apa bedanya tinggal bersama manusia dengan batu?
Akhirnya kami saling mengungkap emosi dan pemikiran yang kami rasakan. Berbagai argumen dikeluarkan. Guess what? Pada akhirnya kami malah menangis. Dan bersamaan dengan air mata yang meluruh, luruh pula segala kebencian dan salah paham itu. Kami bisa melanjutkan kebersamaan kami dengan lebih baik.
Yup, itulah Fany. Sahabat terbaikku, sahabat yang selalu bisa membuatku khawatir sekaligus merasa tenang, sahabat yang bisa membuatku menangis sekaligus tertawa. Sahabat yang penuh masalah, namun selalu bisa mengatasinya dan membuatku turut belajar dari segala pengalaman dan permasalahan hidupnya.
Ti jadi kangen...., udah lama banget Ti nggak ketemu dia. Selama ini komunikasi kami sebatas lewat telepon atau sms. Jarak Bekasi – Magelang telah memisahkan kami, namun tidak hati kami.
Kembali ke topik awal. Entah, sampai saat ini Ti masih belum bisa mendapatkan chemistry yang sama Ti rasain buat Fany. Entahlah, yang Ti rasain bersama my present roommates malah seperti gagasan yang pernah ditawarkan Fany. Yah, Ti ngerasa kami cuma berbagi fasilitas dan benda-benda fisik lainnya, tapi bukan emosi. Seringkali Ti ngerasa nggak nyaman saat kami lagi bersama, karena yang Ti rasain cuma jasad kami yang sedang berkumpul, tapi jiwa kami entah berada di mana bersama pikirannya masing-masing. Sampai kapan ini bakal berlangsung?
Entahlah, apa ini hanya perasaan Ti aja? Mungkin ada benarnya kata orang, semakin dewasa seseorang, tingkat egoismenya akan makin tinggi?

apa aku pecundang?

Kadang Ti benar-benar berharap Ti punya keberanian untuk out from the box, take a risk, take the challenge. Tapi..., kenyataannya Ti masih di sini, di kotak yang sama. Selalu aja Ti terbentur dengan “penutup” yang menampakkan diri dalam bentuk kenyamanan, keluarga, kebutuhan, dll. Mungkin, kalau aja Ti hanya bertanggung jawab hanya untuk diri sendiri, Ti bisa lebih berani dan nothing to lose. Tapi untuk sekarang, masih berderet yang ada di belakang Ti bukan untuk menopang tapi bertopang pada Ti untuk ikut memikirkan dan membantu. Bukan maksud Ti untuk lepas tanggung jawab, atau tak berterimakasih, justru Ti senang kalau Ti bisa membantu, itu membuat hidup Ti jadi lebih bermanfaat tapi... Ti juga ingin mencari kesempatan untuk bisa lebih berkembang, minimal pengalaman Ti lebih berkembang. Paling nggak, Ti bisa memuaskan diri Ti dengan mencoba, dan membuktikan apapun hasilnya Ti telah berusaha.